Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bertahan dalam Perjuangan: Menciptakan Bahagia di Tengah Kesuksesan


Jika kita tidak bermanfaat, maka kita akan dipunahkan alam semesta. Dan lebih menarik lagi dari yang ia temukan saat itu adalah sebuah barisan kata yang mengilhaminya bahkan 50 tahun setelahnya, sebuah pesan yang membuatnya merenung bahwa kalau kita curahkan waktu dan perhatian demi kepentingan sesama maka alam semesta akan mendukung kita, selalu, dan persis di saat-saat kritis.

Buckmister Fuller mendapatkan kata-kata tersebut saat dirinya berniat mengakhiri hidupnya di danau Michigan. Saat perasaan bersalah telah menghukum hari-harinya, usai kematian anaknya. Buckmister Fuller bukanlah seseorang yang tidak beruntung. Ia orang yang cerdas dan sukses namun rasa bahagia seakan terus menjauh.

Bagaimana mendifinisikan sebuah kesuksesan maka akan banyak persepsi soal itu. Masing-masing mendefinisikan berdasarkan sudut pandang berbeda. Satu sama lainpun bisa saling membantahnya. Sedangkan bagaimana soal bahagia? Saya rasa akan banyak definisi lagi tentang hal tersebut. Karena ukuran tingkat kepuasan hidup pun dirasakan berbeda diantara antar personal manusia. Bahagia adalah akhir dari sebuah banyak pinta, impian dan rasa yang begitu dicari dari sebuah proses kehidupan.

Dalam buku The 7 laws of happiness karya Arvan Pradiansyah, Sukses adalah mendapatkan apa yang kita inginkan, sementara bahagia adalah menginginkan apa yang anda dapatkan. Sukses dan bahagia adalah dua jalur jalan yang berbeda. Sukses lebih berdimensi fisik sementara kebahagiaan berdimensi spritual.

Untuk menjadi sukses kita perlu sebuah target, kerja keras dan dengan syarat. Sedangkan bahagia adalah hal yang bisa dimulai kapan saja. Bahagia bisa berada diantara keadaan berjuang. Diantara keringat-keringat yang diusahakan untuk sebuah kebaikan. Jika kita memutuskan bahagia dengan syarat, maka saat kita belum mendapatkan yang kita inginkan, bahagia akan menjadi angan-angan. Bahagia adalah sebuah keputusan hati. Sebuah keadaan yang diciptakan manusia itu sendiri. 

Apa yang kurang dari Buckmister Fuller, seorang ahli geodesic, kaya, cerdas dan dihormati. Namun, ia adalah seorang yang sempat ingin mengakhiri hidupnya. Dia belum menemukan bahagia diantara banyak pencapaiannya. Hingga akhirnya ia mampu menemukan kebahagiaan saat dirinya mengetahui cara untuk mengabdikan diri pada alam semesta. Karena menurutnya jika tidak manfaat, maka akan dipunahkan.

Saya mendapatkan cerita tentang Buckmister Fuller dari bapak Tung Desem waringin dari seminar yang beliau sampaikan yang bertajuk Succes Revolution, beliau adalah seorang pakar marketing.  Salah satu dari empat pembicara hebat yang hadir saat itu. Saya menyimpulkan dari yang beliau sampaikan bahwa saat menggapai sukses atau hal yang ingin kita capai, jangan lupa untuk tetap menyelipkan bahagia dengan syukur yang untuk hal yang telah ditangan. Bahagia dapat dimulai sekarang. Namun, syukur juga jangan membuat kita naif, untuk membuat langkah kita terdiam. Merasa tidak perlu lagi untuk bergerak mencapai sebuah keinginan.

Apa yang saya syukuri, apa yang harus saya pelajari dari kejadian ini sehingga besok menjadi lebih baik dan apa yang saya lakukan sekarang agar merasa lebih baik dan orang lain menjadi lebih baik. Deretan pertanyaan tersebut menjadi kunci untuk kita melakukan pergerakan untuk mencapai sebuah rasa bernama bahagia.

Karena human nature adalah do something. Sebenarnya jika kita lebih mendalami hukum alam, setiap gerakan kita akan mampu selaras. Dan jika kita mencoba memungkiri keadaan hukum alam maka kita tidak akan mampu mengimbangi keadaan hidup. Hal ini mengingatkan saya tentang hukum kekekalan energi, saya yakin segala kelelahan yang kita lakukan akan berdampak pada hidup kita kembali. Energi itu kekal, ia hanya berubah bentuk dan yang pasti akan kembali pada pemiliknya. Seperti kata Tuhan, akan ada balasan bagi sebuah tindakan, bahkan hanya sebesar dzarrah pun.

05 Desember 2014