Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketika Label Menentukan: Bagaimana Penilaian Memengaruhi Interaksi Sosial



Jika saya melihat suatu label produk dengan banyaknya barisan huruf-huruf, maka saya merasa pikiran saya digiring untuk sepaham dengan tulisan tersebut. Itu bagi produk yang benar-benar asing buat saya atau saya butuh penjelasan kegunaan produk tersebut, maka saya akan membacanya dengan detail. 


Berbeda jika saya sudah mengenal produk tersebut dan menggunakannya, justru saya yang 'melebeli' produk tersebut. Artinya saya punya penilaian sendiri, bisa sama dengan yang tertulis dalam labelnya atau mungkin akan jauh berbeda dari paparan narasi yang ada.

Saya sedang tidak ingin membahas tentang label suatu produk. Saya menuliskan sedikit tentang perenungan yang ada dalam pikiran saya. Tanpa kita sadari, manusia pada dasarnya suka juga memberikan label pada manusia lainnya. Entah sahabat, keluarga, teman atau musuh sekalipun. Kita memberikan label secara tidak kentara pada mereka atau unek-unek tidak terungkap. Baiklah, mungkin kita akan berdalih 'tidak sengaja' atau  'tidak bermaksud' karena melebeli atau menilai seseorang dengan sebuah kesimpulan, apalagi kesimpulan buruk adalah sebuah tindakan buruk sangka. Atau suuzhon.

Pengalaman dalam diri saya, pernah ada rekan saya, jika saya berhubungan dengannya, tidak ada ruang untuk diskusi atau bincang panjang. Yang menang adalah pendapatnya. Yang terbaik adalah keinginannya. Bukan berarti pendapat saya terbaik. Paling tidak, saya hanya ingin ada sedikit celah untuk memberikan pendapat. Tapi yang saya rasakan adalah mustahil. Karena hal tersebut sering terjadi, maka saya 'melabeli' hubungan kami, hanya akan menimbulkan arus yang rumit. 

Atau juga, ada sahabat saya yang selalu telat jika ada janji pertemuan. Dan itu selalu, hampir 90 % terjadi kalau kami membuat rencana pertemuan. Karena intensitasnya 'sering', jadi saat akan bertemu dengannya. Saya akan tahu dia pasti telat. Padahal tidak juga bukan?

Kondisi 'melebeli' ini, adalah kondisi diluar keinginan saya. Kesimpulan itu terjadi begitu saja. Hal-hal yang akhir ini saya coba renungi. Bisa saja orang lain menaruh 'label' pada sosok saya yang memang jauh dari sempurna ini.

Siapa Saja Bisa Berubah 


Satu hal yang saya lupa tentang hal 'melebeli', hal ini bisa berarti bahwa kita menilai seseorang dengan sepihak saja. Padahal yang mampu menilai manusia luar dan dalam itu hanya Tuhan. Tidak juga para psikologi yang memiliki ilmu untuk menilai prilaku seseorang. 

Bisa saja pada pertemuan selanjutnya dengan teman saya yang selalu telat itu, hal yang ajaib terjadi. Dia datang lebih awal dan justru saya yang datang terlambat. Itu sangat mungkin. Siapa tahu saja dia memang punya misi untuk merubah diri soal komitmen memegang janji. Yang mungkin saja, azzamnya dia hanya di simpan dihatinya.

Apakah tidak malu, bagi saya jika sudah meletakkan label itu? Bisa-bisa ada label besar di dahi saya yang bersikap apatis karena tindakan buruk orang lain. Maka saya menggaris bawahi, mencatak tebal dan miring, bahwa semua orang dapat berubah. Termasuk diri saya. Harus lebih banyak melihat sisi terang dibanding sisi gelap. 

Maka saya merenung, 'melabeli' adalah kondisi dimana diri bermain dengan pikiran-pikiran kita. Sedangkan sumber kita bahagia atau tidak diri kita adalah berasal dari sebuah pikiran. Terkadang kita tersesat dan sesak karena berada dalam pikiran yang hanya itu-itu saja. Jika kita sudah terlanjur 'melabeli' seseorang rubahlah kondisi itu. Seperti hal yang masih saya lakukan bahwa apapun bisa berubah. 

Labelkan Diri


Dalam tindakan memberikan label ada hal yang positif. Seperti pemberian label pada sebuah produk, dengan slogan 'kecap nomer satu', setiap pembaca slogan tersebut pasti berharap kecap yang berlabel tersebut benar-benar nomer satu. Tentu saja dari segi kualitas. Pastinya setiap label tersebut terkandung harapan atau doa. Semua orang yang menikmati kecap tersebut juga berpendapat bahwa kualitas kecap tersebut memang nomer satu. Tidak hanya sekedar label belaka.


Bagaimana kalau diri kita 'melabeli' diri untuk menjadi positif dalam pencapaian hidup. Memberikan label sebagai bentuk motivasi perbaikan-perbaikan. Misalnya, saya adalah orang yang periang. Hal tersebut tentunya, akan kita usahakan untuk benar-benar terjadi. Kalaupun ada kesulitan menuju ke sana, setidaknya kita bergerak mengarah padanya. Sehingga label itu akan terjadi menjadi diri kita tanpa rekayasa. 

Pemberian label itu menjadi satu pecut untuk diri kita dalam mewujudkan impian atau keinginan diri, sehingga ada sinkron antara label dengan kualitas. Sekarang lempar banyaknya label pada orang lain, tapi jika label itu berkata positif, tidak ada salahnya di koleksi. Namun, jika label itu mengikat pikiran kita untuk selalu memberikan nilai negatif, sebaiknya kita koreksi diri. Siapa tahu banyak label negatif dalam dahi kita.