Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tahun ke Tiga Puluh


Menapaki usia tigapuluh, saya masih meraba bagaimana rasanya? Sebenarnya rasa itu masih sulit saya terjemahkan secara gamlang atau saya tidak berani cerita betapa ributnya hati ini menjelang usia tigapuluh. Setidaknya hal yang saya tahu saya telah menjalani hidup ini selama tigapuluh tahun berdasarkan kalender masehi. Artinya jika dalam satu tahun terdapat 365 hari, berarti saya telah menjajaki hari yang ke 10.950. Dasyat! Banyak hal sebenarnya yang bisa dilakukan dalam melewati hari –hari tersebut. Usia tigapuluh, ah, beranikan saya melewatinya dengan damai.

Belajar

Kehidupan yang berjalan atas kehendakNya ini, memiliki ritme yang tidak selalu sama. Proses pembelajaran seseorang berubah-ubah, seperti halnya sebuah orientasi hidup, auranya mengimbangi hal yang melingkarinya, pengalaman dan pemahaman. Satu kesatuan yang saling berkait-kaitan. Entah beberapa kali saya merubah orientasi hidup saya dimulai dari hal pertama yang saya inginkan. Mungkin pada masa balita saya. Tuhan saya, Allah, menempanya dengan sebuah situasi masalah yang membuat saya menjadi ‘berpengalaman’ hal itu menimbulkan gejolak egois, ketidaksabaran dan keingintahuan yang berdasarkan hasrat sesaat. Tapi, saat saya terpentok dan terjegal masalah saya menjadi merubah orientasi saya menjadi lebih baik. Istilahnya, bersikap anarkis terhadap keadaan tidak menimbulkan hal positif pada sebuah pilihan hidup. Sama sekali tidak, pengalaman merubah orientasi saya.

Sedangkan pemahaman yang sengaja atau tidak sengaja saya cari –hidayah-, bagi saya merupakan cara Tuhan untuk saya menemukan langkah jalan keluar atas hati saya yang terkikis sensitif. Perasaan yang selalu mengurung saya pada kecemasan yang tidak mendasar. Tuhan, membantu saya menemukan arah untuk menatap hidup. Hidup saya di usia ketigpuluh tahun ini.

Etape di evolusi pemikiran

Selain hal pembelajaran yang saya lakoni sejak keluar dari perut bunda adalah evolusi pemikiran. Saya yang mungkin saat kecil senang begaul dengan cerita fabelnya BOBO dan indahnya putri-putri raja hidup, berubah menyukai kisah cinta remaja di KAWANKU dan GADIS lantas ANNIDA –bacaan saya hingga sekarang--, HORISON juga pernah menarik perhatian saya, lantas muatan motivasi-motivasi dan beralih ke sastra koran yang dulu saya kira sangat rumit untuk di mengerti. Dari indikasi tersebutlah membuat saya menyadari kalau pemikiran memang berevolusi bersamaan dengan waktu. Namun, evolusi pemikiran ini ternyata tidak diukur di angka berapa kita berada saat itu, maksud saya usia kita. Saya termasuk yang terlambat soal evolusi pemikiran mengarah kedewasaan. Saya masih berjalan di tempat untuk berani berpikir dewasa, sayangnya menjadi tua adalah kepastian. Seharusnya, saya mampu melompatinya atau setidaknya berjalan beriringan dengan usia saya yang beranjak ‘tua’ ini.

Saya sudah berada diusia tigapuluh

Kalau Tuhan menghendaki, barisan kata biasapun bisa menjadi puisi yang menggetarkan. Itupun yang saya rasakan, Tuhan mengizinkan saya berada di usia ini. Sebenarnya saya ingin menutup mata dalam menapakinya dan melangkah. Karena saya takut, tapi kalau saya menutup mata, banyak hal yang akan terlewat, karena selain hal yang saya takutkan, kemungkinnan banyak hal yang menyenangkan sekaligus mengejutkan. Saya harus tetap membuka mata menepaki usia saya ini.

Saya tidak membela diri, kalau momok usia tigapuluh menjadi warning tersendiri, adalah hasil anggapan orang-orang terdahulu. Sikap saya saat menyongsong usia ini, terpengaruh anggapan tersebut. Definisi bebas saya, kondisi dimana garis merah antara remaja dan dewasa, dan saatnya untuk melek menghadapi, lebih awas terhadap keadaan duniawi sekaligus akhirat. Bukan tidak mungkin, kita bisa berhenti di usia ini. Jadi saat ini saatnya berlari mendekat sang Khalik. Bukan mengutuki waktu dan keadaan. Dan semoga senyum saya terus merekah di usia saya yang ke tigapuluh.