Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengatasi Panik Untuk Sikap Yang Tepat



Di dorong masuk kolam, saya yang tidak ahli dalam berenang tentunya di penuhi kepanikan, dengan segala cara untuk bisa bertahan hidup, nafas terhela-hela, berteriak dan memohon pertolongan di sekeliling. Siapa saja! Bantu saya! Tapi ternyata orang-orang hanya berdiri di pinggiran kolam, hanya menatap dan tidak ada juluran tangan. Sementara, saya sudah hampir seperti sekarat, pakaian saya sudah basah semua. 

Dalam keadaan seperti ini, terbersit pikiran mengapa orang-orang itu begitu tega? Membiarkan saya dalam keadaan seperti ini. Setelah memakan waktu cukup lama, saya mulai terdiam menenangkan diri saya --penjabaran dari kata pasrah-- Kaki saya mulai meraba-raba, tangan saya berhenti menggapai. Tiba-tiba kaki saya menggapai sesuatu dasar kolam. 

Ternyata saya bisa berdiri dengan baik di dalam kolam itu, saya berada di kolam yang dangkal. Bahkan saat berdiri, air kolam hanya setinggi lutut saya. Lantas mengapa saya saat pertama tercebur kedalam kolam seperti dalam keadaan sekarat.

Saya memang sedang menganalogikan saat saya dilingkari kepanikan, melalui cerita diatas. Setiap aktivitas keseharian kita, tentu pernah di temui kejadian yang tidak kita duga, apalagi hal yang kurang mengenakkan. Sebuah contoh kecil misalnya, saat kita menumpahkan teh hangat pada meja kerja kita yang di penuhi kertas-kertas penting, apa reaksi kita? Kaget, terkesima dan bersikap sekenanya. Karena kita berfokus pada hal ‘penting’ diatas meja tersebut.

Kondisi panik pada level sering

Walaupun tidak acapkali, saat di hadapkan hal yang mengejutkan, saya bersikap panik, tapi kondisi panik saya pernah berada pada level sering. Saat itu saya kurang berpikir logis, saya mencari cara untuk melempar cemas saya cepat-cepat.

 Tengok kiri-kanan dan teriak heboh. Padahal, kemungkinan hal yang membuat panik dapat diselesaikan dengan santai, seperti yang saya analogikan di awal tulisan ini. Saya tidak mungkin mati tenggelam dalam kolam dangkal kecuali kalau ada buaya di dalamnya.

Hal yang menjadi pelajaran bagi saya, adalah mengenal situasi terlebih dahulu. Sehingga, saya bisa berreaksi wajar atau tidak berlebihan dalam mengeploitasi reaksi diri. Mengenal situasi merupakan hal yang sulit, terlebih lagi saat dalam keadaan panik. Hal yang mungkin bisa kita lakukan adalah tetap berpikir positif bahwa semua akan baik-baik saja.

Panik adalah wajar

Menurut para ahli fisika dan matematika yang telah membuat model matematika untuk respon panic. Goldensen mengartikan Panik sebagai reaksi yang menyertai ancaman, kebingungan, dan perilaku yang tidak rasional yang disebabkan oleh situasi yang mengancam. Johnson menuliskan panik sebagai perilaku yang melibatkan persaingan mementingkan diri sendiri tidak terkontrol oleh social dan paksaan budaya dan melanggar tata tertib social, persaingan yang tidak diatur oleh kekuatan social.

Dalam otak kita, terdapat beberapa batang bagian otak yaitu otak reptil, sistem limbik atau otak mamalia. Pada saat panik atau dalam keadaan berbahaya biasanya yang bekerja adalah otak reptil. Ketika manusia merasa tidak aman, otak reptil ini spontan bangkit dan bersiaga atau melarikan diri dari bahaya. Saat panik, yang terjadi adalah rumus menyerang atau lari.

Saat kita di hadapi sesuatu yang mengancam, baik yang terancam fisik atau harga diri, hal yang kita lakukan adalah bisa jadi adalah respon yang tidak logis. Hal itu wajar, karena cara kerja otak reptil di kepala kita memang begitu. Cenderung mengadaptasi cara reptilia bertindak.

Panik yang tidak perlu

Kondisi panik ini memang masih sulit saya bendung, orang bilang sih saya panikan, tapi bersamaan dengan kedewasaan dan pengenalan medan aktivitas saya, keadaan tersebut dapat saya minimalisir. Yang jadi masalah adalah panik oleh kejadian yang kecil. Pada hal yang seharusnya tidak perlu di paniki. Seperti tercebur dalam kolam yang dangkal.

Biasanya kalau saya terlalu bereaksi dan berlaku ‘aneh’, akhirnya saya akan menyesal setelahnya atau mungkin menertawakan tingkah konyol sebelumnya. Memang saya belum benar-benar bisa sembuh dari panik pada hal-hal yang kecil. Paling tidak saat ini ‘penyakit’ itu jarang kambuh.

DS, 06 Maret 2012
21.47