Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Janji di Setahun Yang Lalu


UDARA semacam ini sudah tidak kentara lagi kapan akan berkunjung. Kadang di awal tahun, kadang di pertengahan tahun. Bagiku, musim apapun itu rasanya tak menjadi soal. Tidak memusingkan kapan seharusnya sebuah musim harus datang. Tidak harus rentang antara oktober hingga april, melulu dan harus basah. Lantas siapa yang perduli?

Aroma hujan kali ini, memang selalu membuat imajinasiku berhembus berkelebatan di kepalaku. Hilanglah dingin oleh ceritaku kini, harapku tak membuatku menjadi dungu. Atau nanti ada sebongkah pelajaran kejadian ini, setahun yang lalu. Bedanya, saat itu di akhir tahun tanpa hujan dan tak melulu basah. Tapi aku masih berada di pojok sebuah cafe, dengan secangkir teh mengepul serta beberapa potongan kue dengan aroma panggang terbawa dari dapur para koki. Nikmat.

Diakhir tahun itu, yang lalu. Aku menemui seorang gadis bergaun manis, dengan pita putih yang membuat wajahnya terlihat sendu. Dia tampak resah dan tangannya memegang jeruk mandarin berwarna kuning segar. Semula aku tidak pernah ingin tahu apa yang dia tunggu, terus kutatapi ia tanpa jeda, mungkin hal itulah yang membuatnya semakin gelisah. Dia mencuri menatapku balik, tapi tidak dengan malu-malu justru yang kulihat adalah ragu-ragu.

“Anda ingin pesan sesuatu?” tanya seorang waiter kepadanya. Dia tiba-tiba seperti terpergoki saat tengah mencuri untuk menatapku.

“ah..tidak..eh..belum!” suaranya gugup. Ada raut kesal dari pelayan tersebut, sebab sudah dua kali dia menanyakan hal itu. Kalau tidak ingin sesuatu untuk di pesan, lantas untuk apa dia berada disini. Mungkin dialog sinis tersimpan dari tatapan pelayan barusan. Tidak di gubris, gadis itu justru melempar pandangannya ke sembarang arah. Dia tak lagi mencoba mencuri menatapku. Aku tetap memperhatikannya, namun kali ini kubuat sesopan mungkin. Aku tidak mau seperti penjahat yang sedang mengintai buruannya.
***

SULIT
di percaya. Tiba-tiba saja, dia dengan membulatkan tekad untuk menegurku terlebih dahulu setelah kupesankan secangkir teh dan donat bergula putih senada denga pitanya. Padahal, sebelumnya ku tahu benar, kalau dia benar-banar sedang di landa gugup

“Aku ingin memberikan ini” katanya. Aku melihat sayu mata kelelahan tapi manis wajahnya tetap mendominasi kulitnya yang cerah.

“Jeruk? Untukku” dia mengangguk. Kini aku yang meragu, ada apa ini? Sebuah jeruk. Ah..mungkin dia mengira kalau aku menginginkan jeruknya karena aku tak melepas tatapanku sejak lima belas menit kedatangannya yang lalu. Ku lihat ketulusan yang berbalut kebaikan. Andai saja aku bisa membelai rambutnya yang legam. Rupanya, aku telah di bawa arus kebaikan cintanya. Cinta seorang putri. Yang mungkin nanti akan mewarnai hidupku, di setengah abad yang telah kulalui. Oh andai.

“Tolonglah paman!” rajuknya.

“Aku berjanji memberikannya pada seseorang yang kutemui pada mimpiku semalam” jelasnya dengan terbata-bata dan mulai di tengahi oleh cemas.

“Mimpi?” aku mulai menjadi dungu rupanya. Ada seorang gadis yang benar-benar berjanji bertemu seseorang di dalam mimpi? Aku yang gila atau gadis ini. Kadang aku juga tidak bisa membedakan mana imajinasi mana nyata. Oh Tuhan, rupanya sekira wajah, tak seperti apa yang terkira. Tidak mudah tampak dan sulit untuk dinilai.

Sejenak dia mulai cerita bahwa akan ada seorang gadis pula, seumurannya dengannya yang akan mengambil jeruknya itu. Dia berjanji, dengannyalah dia dapat merubah nasib gadis itu. Namun, hampir tiga puluh menit berlalu dia belum juga melihat seseorang gadis yang mencari sebuah jeruk mandarin yang berwarna kuning segar. Lantas, dia mencoba memberikan tugas padaku. Lalu, dengan tergesa-gesa dia meninggalkanku tanpa menyentuh teh hangat yang kini sudah tidak lagi hangat.

Tidak lama kemudian, aku mendengar, ribut-ribut di luar cafe. Seorang gadis bergaun manis dengan pita putih di seret untuk masuk ke dalam mobil hitam. Matanya basah, dan menatap memohon padaku. Sepenggal percakapannya masih terniang di telingaku. Dan aku masih menerka apa yang sedang terjadi. Degupku seakan bergantian menghantam dadaku.

“Tunaikan janjiku dalam mimpiku, paman!” masih terus terniang. Bagai sekelebat lebah yang berputar hebat mengelingiku, membuatku hampir limbung. Aku seperti pendengar tanpa nama.

***

DUA belas bulan setelahnya. Kejadian itu masih menjadi kenangan. Ditempat yang sama, dengan pesanan yang sama, yang aku santap setahun yang lalu. Siapa tahu pula, aku bisa bertemu dengan gadis yang memberikan jeruk itu dan mungkin tidak dengan mata sayu seperti setahun yang lalu. Dan yang terpenting dari semua itu, aku ingin memberitahukan kepadanya, aku belum dapat menunaikan janjinya itu. Ah...bagaimana mungkin aku menunaikan janji dari seorang yang tidak ku kenal hanya karena aku memesankan secangkir teh hangat untuknya. Dan terlebih lagi, janji itu dibuatnya di dalam mimpi.

Hujan di akhir tahun ini. Basah dan lembab. Langit melempar rintik-rintik tajam membuat siapapun enggan berlalu di keadaan nyamannya. Cafe ini tampak sepi. Hanya ada beberapa pengunjung dan barisan para peneduh yang terjebak hujan di jalan. Tiba-tiba ada segaris mata yang menarik untukku, sepasang mata sayu berada di sana.

Tergesa aku mencoba menghampirinya. Dia malu-malu, mencuri-curi padang untuk menangkap sesebuah bayangan yang menghampirinya. Itulah aku.

“Paman...” dia bergetar, hujan membuatnya kuyuh. Rambutnya kusut di sisir malam. Angin membuat gigil tangannya. Kontras sekali dengan gadis yang kutemui setahun yang lalu.

“Adakah seorang gadis yang datang dengan membawa jeruk? aku berjanji untuk bertemu dengannya.” Seperti pembuktian. Aku dibuat takjub dengannya.

“Janjinya yang di buatnya di dalam mimpi?” tanyaku setengah menyelidik, walaupun ini seperti pertanyaan aneh. Tapi aku, butuh keyakinan atas pertanyaan, mengapa kakiku seakan tertarik oleh matanya yang sayu. Mengapa aku begitu tertarik mengurusinya.

“ya..ya..” wajahnya berubah seketika, seperti terbasuh air hangat yang membuat gigilnya sirna. Aku terdiam. Aku tidak membawa jeruk itu. Karena , sudah setahun yang lalu. Aku mengembuskan nafasku, udaranya menghantarkan kejenakaan di sanubariku.

Nak, kapan sebenarnya perjanjian kalian terjadi. Sekarang atau setahun yang lalu, lantas adakah aku dalam mimpi kalian. Sehingga, tanpa sengaja aku terlibat di dalamnya. Tanya-tanya itu berubah menjadi gugatan.

Kupesankan dia, secangkir teh hangat. Dia menyeruputnya hingga habis, donat yang kupesankan juga di makannya tanpa jeda. Begitu menyedihkankah keadaan gadis ini? Walaupun, nampak seperti mengulang kisah, rasanya ini begitu berbeda. Yang tertinggal dari kisah ini, adalah ketulusan berbalut kebaikan. Dia seorang gadis yang diburu kejahatan, diasuh jalan. Dia tidak ingin menjadi jalang, pada nasibnya yang harus di jaga hingga nasabnya nanti tidak menjadi hilang.

Sama seperti setahun yang lalu. Andaikah! Aku ingin membelai rambutnya yang menebarkan aroma basah. Aku ingin menjadikan nasabnya berakar, mungkin bagiku hanya hayal. Tapi, membuatnya bermartabat, sepertinya tidak berlebihan.

Seperti sebuah kisah dalam sandiwara panggung bukan? Aku mendapatkan seorang anak angkat di ributnya hujan dan sebuah janji yang di buat saat bermimpi. Mereka melibatkan aku tanpa aku minta. Sungguh takjub rasanya.

DS, 26 Desember 2011
Menjelang 2012